BAB
I
PENGERTIAN
BAKAT
Dalam
mendefinisikan kata “bakat” atau yang dalam bahasa Inggris berarti aptitude atau talent, para ahli telah memunculkan berbagai pendapat yang satu
sama lain berbeda. Di bawah ini beberapa definisi tentang bakat, yaitu:
·
William
B. Michael menyatakan bahwa An
aptitude may be define as a person’s
capacity, or hypothetical potential, for acquisition of a certain more or less
weeldefined pattern of behavior involved in the performance of a task respect
to which the individual has had little or no previous training.
Menurut definisi di
atas, Michael meninjau bakat itu terutama dari kemampuan individu untuk
melakukan tugas, yang sedikit sekali tergantung kepada latihan mengenai hal
tersebut.
·
Bingham
mendefinisikan bahwa aptitude . . . as a
condition or set of characteristics regarded as symptomatic of an individual’s
ability to acquire with training some (usually specified) knowledge, skill, or
set of responses such as the ability to speak a language, to produce music, .
etc.
Dalam definisi di atas,
Bingham menitikberatkan pada segi apa yang dapat dilakukan oleh individu, jadi
segi performance, setelah individu
mendapatkan latihan.
·
Woodworth
dan Marquis mendefinisikan bahwa aptitude
is predictable achievement and can be measured by specially devised test.
Bakat (aptitude) oleh Woodworth dan Marquis dimasukkan dalam kemampuan (ability)[1]
·
Guilford
menyatakan bahwa aptitude pertains to
abilities to perform. there are actually as many abilities as there are actions
to be performed, hence traits of this kind are very numerous
Pada intinya, Guilford
pun menyatakan bahwa bakat itu berkaitan dengan kemampuan.
Perbedaan
pendapat di atas sebenarnya tidak sebesar perbedaan rumusan-rumusan yang mereka
kemukakan. Rumusan-rumusan yang berbeda-beda tersebut sebenarnya merupakan
penyorotan masalah bakat itu dari sudut yang berbeda-beda. Jadi disamping
adanya perbedaan antara pendapat yang satu dengan yang lain, pendapat-pendapat
tersebut sebenarnya juga saling melengkapi.[2]
Selain
itu, dapat pula diartikan bahwa bakat adalah potensi/kecakapan dasar yang
dibawa sejak lahir. Setiap individu mempunyai bakat yang berbeda-beda.
Seseorang yang berbakat musik mungkin di bidang lain ketinggalan.[3]
Bakat
juga diartikan sebagai kemampuan khusus yang menonjol di antara berbagai jenis
yang dimiliki seseorang. Kemampuan khusus itu biasanya berbentuk keterampilan
atau sesuatu bidang ilmu, misalnya kemampuan khusus (bakat) dalam bidang seni
musik, suara, olahraga, matematika, bahasa, ekonomi, teknik, keguruan, sosial,
agama, dan sebagainya.[4]
Secara
umum, bakat (aptitude) adalah
kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada
masa yang akan datang. Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki
bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu
sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jadi, secara global bakat itu mirip
dengan inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat
cerdas (superior) atau cerdas luar
biasa (very superior), disebut juga
sebagai talented child, yakni anak
berbakat.
Dalam
perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk
melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan
latihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro, misalnya, akan jauh
lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan
dengan bidang tersebut dibanding dengan siswa lainnya. Inilah yang kemudian
disebut bakat khusus (specific aptitude)
yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak lahir).[5]
Dapat
disimpulkan bahwa bakat merupakan suatu kelebihan berupa kemampuan yang
dimiliki seseorang dalam suatu bidang, yang mana dengan bakatnya tersebut ia
tidak harus belajar dan berlatih dengan keras dalam bidang tersebut seperti
orang lain yang tidak memiliki bakat sepertinya. Selain itu bakat dibawa oleh
seseorang sejak lahir dan baru diketahui seiring perjalanan usianya.
BAB
II
MEMAHAMI
BAKAT
A. Pentingnya Memahami dan Mengidentifikasi
Bakat
Bakat memiliki peranan yang penting
dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang. Dengan bakat yang dimiliki,
seseorang memiliki peluang besar untuk mengembangkan dirinya secara lebih
maksimal.
Persoalannya, bakat itu tidak mudah
untuk diidentifikasi. Banyak orang yang memiliki bakat tertentu tetapi tidak
menyadari kalau dirinya sebenarnya memiliki bakat. Sering kita menemukan diri
kita, atau orang lain, yang bertanya-tanya tentang bakat apa yang sebenarnya
kita miliki. Bakat memang tidak muncul begitu saja, langsung dapat
diidentifikasi, dan kemudian dikembangkan. Bakat merupakan sebuah potensi
terpendam yang harus digali. Tanpa penggalian potensi terpendam ini, bakat hanya
akan berhenti sebatas sebagai bakat semata.
AN.
Ubaedy (2007) memberikan perumpamaan yang menarik berkaitan dengan bakat ini.
Bakat, menurut Ubaedy, seperti layaknya tambang emas (gold mine). Dari segi lokasi, sebagian tambang emas berada di
lokasi yang sepertinya tidak mudah dijangkau oleh masyarakat umum. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat
menemukan dan menjangkau lokasi tambang emas. Demikian juga dengan bakat. Ia
sering berada di lokasi yang “tersembunyi” dalam diri manusia. Oleh karena
lokasinya yang tersembunyi itu, maka ia sulit ditemukan, kecuali dengan usaha
secara serius untuk mencari, menggali dan menemukannya.[6]
Selain
lokasinya yang tersembunyi, hal yang tidak kalah penting lainnya adalah
keunikan emas di tambang emas. Kandungan emas di tambang emas itu menempel pada
sebuah batu. Oleh karena posisinya yang menempel-menyatu, maka ia tidak
langsung berbentuk emas sebelum diolah melalui serangkaian usaha dan kejelian.
Studi ilmiah menjelaskan bahwa kandungan emas yang ada dalam diri manusia
berada di lokasi yang terpencil, di bagian terdalam dari diri manusia (tidak
berada di permukaan), dan tersembunyi (tidak kasat mata).
Dengan watak yang semacam ini, maka
meskipun dalam diri manusia terdapat sekian banyak potensi, tetapi semua
potensi itu tidak akan ada artinya, hanya menjadi sebatas potensi, dan tidak
akan mampu menciptakan prestasi, ketika tidak diberdayakan, diaktualisasikan,
dan diwujudkan dalam bentuk aksi. Potensi yang ada dalam diri tersebut akan
tetap menjadi seonggok potensi yang mubazir karena tidak dipergunakan.
Bakat yang dimiliki oleh seseorang
pada dasarnya adalah modal awal untuk membangun kesuksesan hidup. Modal ini
tidak akan ada artinya jika diposisikan secara pasif. Sebagai ilustrasi
misalnya Anda memiliki dana yang cukup besar untuk membangun usaha. Akan
tetapi, Anda tidak melakukan apapun untuk memulai usaha. Anda hanya sebatas
berangan-angan untuk berusaha, dan tidak pernah mewujudkan angan-angan tersebut
dalam langkah yang konkret. Maka dari itu, modal usaha sebesar apapun akan
tetap sebatas sebagai modal, tidak berkembang, dan tidak menghasilkan
keuntungan sebagaimana yang diharapkan.[7]
Dalam hal ini, menarik merenungkan penyataan
Thomas Wolfe. Menurut Wolfe, jika seseorang memiliki bakat tetapi bakat yang
dimiliki tersebut tidak dipergunakan, sesungguhnya ia telah gagal. Ia tidak
melakukan sesuatu sehingga juga tidak akan mencapai apapun. Begitu juga ketika
ia baru menggunakan setengah dari bakatnya, maka ia berada dalam kondisi
setengah gagal. Keberhasilan baru akan dicapai manakala ia mempergunakan bakat
yang dimiliki dengan cara menggunakannya secara maksimal untuk mencapai
prestasi.
Oleh karena itu, bakat harus
dipergunakan dan diberdayakan secara maksimal untuk mencapai hasil yang
optimal. Bakat adalah anugerah hidup yang luar biasa yang diberikan Tuhan
kepada manusia. Setiap orang pada dasarnya memiliki bakat tertentu, hanya
memang sebagian besar orang tidak menyadarinya, atau tidak mengetahuinya,
sehingga tidak menemukan bahwa di dalam dirinya tersimpan bakat tertentu.[8]
Dari pemaparan panjang di atas
dapat penulis simpulkan bahwa kita perlu untuk memahami dan mengidentifikasi
bakat. Hal ini dikarenakan dengan mengetahui bakatnya lah seseorang dapat
mengetahui misi hidupnya di masa yang akan datang, akan jadi apa ia kelak,
serta ia harus berorientasi untuk mempelajari dan berlatih apa dari masa kini
dengan lebih mudah dan jelas.
Meskipun bakat itu penting dan
perlu untuk segera diidentifikasi, namun sebenarnya bukan bakatlah yang menjadi
satu-satunya tolak ukur kesuksesan seseorang di masa akan datang. Seperti yang diungkapkan
Thomas Alva Edison, yaitu:
“Bakat
hanya menentukan keberhasilan sebesar 1 %.
Sisanya
adalah perpaduan dari kerja keras dan usaha
terus
menerus tanpa kenal lelah.”
Dari ungkapan di atas dapat kita pahami bahwa bakat
sifatnya memudahkan kita dalam menemukan jati diri dan keahlian kita. Namun,
semuanya takkan terjadi jika tidak dibarengi dengan usaha untuk terus berlatih
dan belajar. Misalnya saja, ada seseorang yang orang tuanya adalah seniman, dan
ia sendiri karena faktor keturunan ternyata memiliki bakat menjadi seorang
seniman. Akan tetapi, jika ia tidak selalu mengasah kemampuannya di bidang
seni, maka ia hanya akan menjadi seorang seniman yang tak professional dan
bahkan jauh tertinggal dibanding seniman lainnya.
B. Peran Orang Tua dan Guru dalam Menemukan
Bakat Anaknya
1. Peran Orang Tua
Bakat
(kemampuan khusus) sebagaimana dengan inteligensi merupakan warisan dari orang
tua, nenek, kakek dari pihak ibu dan bapak. Warisan dapat dipupuk dan
dikembangkan dengan bermacam cara terutama dengan latihan dan didukung dana
yang memadai. Seseorang yang memiliki bakat tertentu sejak kecilnya, tetapi
tidak memperoleh kesempatan untuk berkembang disebabkan tidak ada dana untuk latihan, maka bakatnya tidak dapat
berkembang . hal seperti ini dikatakan bakat terpendam.
Pada
umumnya anak-anak mempunyai bakat yang dapat diketahui orang tuanya dengan
memperhatikan tingkah laku dan kegiatan anaknya sejak dari kecil. Biasanya anak
yang memiliki bakat dalam suatu bidang, dia akan gemar sekali melakukan atau
membicarakan bidang tersebut.[9]
Bakat
juga berperan dalam mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar anak pada
bidang-bidang studi tertentu. Karenanya, tidak bijaksana jika orang tua
memaksakan kehendaknyauntuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian
tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki oleh anaknya itu.
Pemaksaan kehendak terhadap anak, dan karena ketidaksadaraan anak terhadap
bakatnya sendiri, sehingga ia memilih jurusan keahlian yang sebenarnya bukan
bakatnya, (mungkin karena bujukan teman) akan berpengaruh terhadap pretasi
belajarnya.[10]
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita konsepkan bahwa peran orang tua di sini dalam membantu
anak menemukan bakatnya sangatlah penting. Karena orang tualah yang secara
langsung serta senantiasa selalu memperhatikan tingkah polah sang anak dari
masa ia dilahirkan hingga masa-masa selanjutnya yang dilalui si anak. Dalam hal
ini orang tua harus selalu jeli dalam mengamati tingkah laku anaknya. Misalnya,
jika si anak saat kecil sangat suka membongkar mobil-mobilannya dan kemudian
merakitnya lagi dengan selalu berusaha teliti, maka mungkin saja anak itu
nantinya berpotensi menjadi seorang perancang mobil. Toh, bikankah tak ada yang
tak mungkin di dunia ini selama kita selalu berusaha dan berdo’a?
2. Peran Guru
Di
sekolah dengan sistem klasikal, di antara anak yang mayoritas berinteligensi
normal, mungkin ada satu atau dua orang anak yang sangat cerdas dan anak yang
sangat berbakat (IQ 140 ke atas). Mungkin juga ada anak yang berkecerdasan di
bawah batas rata-rata anak yang berkapasitas inteligensi ini tentu saja tidak
sama.[11]
Para
guru di sekolah dapat mengetahui apakah muridnya memiliki bakat atau tidak
dengan melihat rapornya. Bila anak memiliki nilai yang istimewa (9-10) dalam
suatu mata pelajaran tertentu, berarti anak memiliki bakat pada mata pelajaran
tersebut.[12]
Dalam
hal ini, penulis berpendapat bahwa memang benar jika seorang guru dapat
mengetahui bakat muridnya dari nilai rapor serta perilakunya dalam kelas. Namun
ada baiknya sang guru untuk tidak langsung menganggap bahwa anak itu itu tidak
berbakat, mungkin saja dikarenakan metode mengajar sang guru yang tidak cocok
dengannya. Dalam hal ini tentunya sang guru tentu akan lebih memperhatikan
serta mengamati muridnya itu, dengan demikian ia akan tahu apa yang salah
dengan muridnya itu.
C. Tes Bakat
Untuk
mengetahui bakat seseorang secara pasti dapat dilakukan dengan menggunakan tes
bakat. Beberapa tes bakat yang sudah
dikenal antara lain:
1. Tes Bakat DAT (Differential Aptitude Test)
Melalui tes ini dapat diukur
berbagai aspek kemampuan seseorang, yaitu:
ü Kemampuan verbal (bahasa)
ü Kemampuan berhitung (matematika)
ü Berpikir abstrak
ü Hubungan ruang
ü Kemampuan mekanis
ü Kecepatan dan ketelitian
2. Tes Bakat GATB (General Apility Test Bateray)
Melalui tes ini aspek
kemampuan seseorang yang dapat diukur yaitu:
ü Kemampuan verbal
ü Penguasaan bilangan
ü Penguasaan ruang
ü Pengamatan bentuk
ü Pengenalan tulisan, dan
ü Koordinasi gerak[13]
Namun demikian, sampai sekarang boleh
dikata belum ada tes bakat yang cukup luas daerah pemakaiannya. Berbagai tes
bakat yang telah ada seperti misalnya FACT (Flanagan
Aptitude Classification Test) yang disusun oleh Flanagan, DAT (Differential Aptitude Test) yang disusun
oleh Bennet, M-T test (Mathematical and
Technical Test) yang disusun oleh Luningpark masih sangat terbatas daerah
berlakunya. Hal ini disebabkan karena test bakat sangat terikat kepada konteks
kebudayaan di mana tes itu disusun, sedangkan macam-macamnya bakat juga terikat
kepada konteks kebudayaan di mana klasifikasi bakat itu dibuat.
Bagi kita bangsa Indonesia kiranya
sangat mendesak untuk segera diciptakannya test bakat itu, baik untuk keperluan
pemilihan jabatan atau lapangan kerja, maupun untuk pemilihan arah studi.[14]
BAB
III
SIMPULAN
Bakat
sangat penting untuk segera diidentifikasi agar seseorang dapat lebih cepat
menemukan kejelasan akan arah studi serta potensi/kelebihan apa yang
dimilikinya. Namun demikian, yang harus selalu diingat adalah bahwa bakat tidak
memiliki manfaat serta peran apapun jika tidak dibarengi dengan usaha untuk
selalu belajar dan beratih.
Orang
tua dan guru sangat berperan dalam membantu anak menemukan bakat terpendamnya.
Karena mereka orang dewasa yang merasa bertanggung jawab sangat peduli akan
masa depan si anak maupun anak didik tersebut.
Adapun
untuk tes bakat sepertinya Indonesia sangat memerlukannya agar semua orang yang
membidangi semua bidangnya masing-masing adalah orang yang benar-benar ahli,
kompeten, dan berbakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono.
1991. Psikologi belajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Naim, Ngainun. 2009. Menjadi Guru Inspiratif, Memberdayakan dan
Mengubah Jalan Hidup Siswa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata, Sumadi. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Press.
Syah, Muhibbin. 1999. Psikologi Belajar. Jakarta: Logos.
[1] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali
Press, 2006), h. 160-161.
[3] Abu Ahmadi dan Widodo
Supriyono, Psikologi Belajar,
(Jakarta: Rineka Cipta,1991), h. 78.
[4] M Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), h. 127.
[5]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Logos,
1999) h. 135-136.
[6] Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif, Memberdayakan dan
Mengubah Jalan Hidup Siswa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.
228-229.
[7] Ibid, h. 229-230.
[8] Ibid, h. 230-231.
[9] M. Dalyono, Op. cit., h. 127-128.
[10] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2011), h. 139.
[11] Loc. cit., h. 139.
[12] M. Dalyono, Op. cit., h. 128.
[13] Ibid., h. 128-129.
[14] Sumadi Suryabrata,Op. cit., h. 167-168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar