1.
Awal Mula Munculnya Madrasah
Kemunculan
madrasah sebagai lembaga pendidikan (Islam) diawali dengan hadirnya Nabi
Muhammad Saw. menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di jazirah Arab. Ali
sebagaimana dikutip oleh Suwito dan Fauzan, dikutip lagi oleh Padil dan Angga,
mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam telah dikenal sejak detik-detik awal
turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. Rumah al-Arqam ibn Abi al-Arqam
merupakan lembaga pendidikan Islam pertama.
Kemudian masjid, oleh umat Islam dijadikan lembaga pendidikan Islam kedua pada zaman Nabi dan pada zaman Khulafa ar-Rasyidin. Kemudian lembaga tersebut terus berkembang. Penyebaran islam yang meluas hingga belahan dunia timur, mulai memunculkan istilah lembaga pendidikan Islam baru dengan sebutan madrasah.[1]
Kemudian masjid, oleh umat Islam dijadikan lembaga pendidikan Islam kedua pada zaman Nabi dan pada zaman Khulafa ar-Rasyidin. Kemudian lembaga tersebut terus berkembang. Penyebaran islam yang meluas hingga belahan dunia timur, mulai memunculkan istilah lembaga pendidikan Islam baru dengan sebutan madrasah.[1]
Sementara
itu menurut Syalabi sebagaimana dikutip oleh Asrohah, kemudian dikutip lagi
oleh Padil dan Angga, mengatakan bahwa madrasah adalah salah satu bentuk
lembaga pendidikan Islam yang tidak sama dengan masjid atau lembaga pendidikan
Islam lainnya. Madrasah merupakan perkembangan dari masjid. Akibat besarnya
semangat belajar umat Islam di masjid, membuat kapasitas masjid menjadi penuh.
Hal ini lah yang mendorong lahirnya madrasah.[2]
Dari
kedua pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa pada intinya madrasah itu
berasal atau asal mulanya adalah sebuah pembelajaran yang pada awalnya
dilakukan di masjid. Kemudian seiring dengan perkembangnnya pembelajaran itu
kemudian menjadi madrasah.
2.
Madrasah di Indonesia
Di
Indonesia, pada awal berdirinya, sebagian besar madrasah masih lebih banyak
memberikan ilmu-ilmu keagamaan daripada ilmu-ilmu umum, namun terjadi perubahan
seteah keluarnya Surat Keputusan Tiga Menteri yaitu menteri agama, menteri
pendidikan dan kebudayaan, daan menteri dalam negeri, yang berisi ketentuan
agar semua madrasah mengubah kurikulumnya menjadi 70% bidang umum dan 30%
bidang studi agama. Hal ini berlaku bagi madrasah negeri yang dikelola oleh Kementerian
Agama Republic Indonesia, sedangkan madrasah yang dikelola oleh swasta,
terdapat beberapa variasi yakni ada 60% bidang studi agama dan 40% bidang studi
umum, dan ada pula yang tetap yakni 70% bidang studi agama dan 30% bidang studi
umum.
Kehadiran
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, memiliki beberapa latar belakang,
yaitu:
a.
Sebagai
manifestasi dan realisasi pembaharuan system pendidikan Islam.
b.
Usaha
penyempurnaan terhadap system pesantren ke arah suatu system pendidikan yang
lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan
sekolah umum.
c.
Adanya
sikap pada sebagian kalangan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada
barat sebagai system pendidikan mereka.
d.
Sebagai
upaya untuk menjembatani antara system pendidikan tradisional yang dilakukan
oleh pesantren dan system pendidikan modern.
Madrasah
merupakan lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bantuan dan bimbingan sejak
pemerintah colonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren
mulai mendapat perhatian dan pembinaan dari pemerintah.
Madrasah adalah
tempat pendidikan dan memberikan pendidikan dan pengajaran yang berada di bawah
naungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Lembaga pendidikan Islam yang
termasuk ke dalam kategori madrasah antara lain Madrasah Ibtidaiyah (MI),
madrasah tsanawiyyah, madrasah aliyah, madrasah mu’allimin, madrasah
mu’allimat, serta madrasah diniyyah. Istilah madrasah di Arab ditujukan untuk
semua sekolah secara umum, namun di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah
Islam yang mata pelajaran dasarnya adlah mata pelajaran agama Islam.[3]
Selain itu,
menurut Dedi Supardi, madrasah seperti MI, MTs, dan MA adalah lembaga
pendidikan umum yang mempunyai cirri khas agama, yaitu agama Islam. Akan tetapi
lembaga pendidikan ini tetap memberikan porsi yang lebih banyak kepada materi
pendidikan keagamaan dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum non-keagamaan.
Pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan melalui pendidikan keagamaan berada
di bawah koordinasi Departeman Agama (sekarang: Kementerian Agama). Dedi
mengatakan bahwa lembaga pendidikan keagamaan ini juga adalah merupakan salah
satu sarana pendidikan agama dan budi pekerti, karena pendidikannya berpusat
pada agama.[4]
Pada madrasah,
paling tidak ada dua kepentingan bertemu, yaitu hasrat kuat masyarakat
Islam untuk berperan serta dalam
pendidikan dan motivasi keagamaan yang menyertainya. Indikasi ini dapat dilihat
dari fakta bahwa banyak madrasah (pada awalnya) berafiliasi dengan pondok
pesantren.[5]
3.
Kedudukan Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah
memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya
(persekolahan). Namun demikian perhatian pemerintah terhadap keberadaan
madrasah masih sangat kurang, bahkan menurut Yahya Umar menyebutnya sebagai
“forgotten community”. Pernyataan Yahya Umar tersebut bagi banyak orang mungkin
mengejutkan, namun realitas membenarkannya. Berdasarkan data yang dikeluarkan
Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan
data base EMIS (Education Management Syatem) Dirjen Pendidikan Islam Departemen
Agama, jumlah madrasah (Madrasah Ibtidaiyah/MI (SD), Madrasah Tsanawiyah/MTs
(SMP) dan madrasah Aliyah/MA (SMA)) sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk
madrasah diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan
hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Kondisi status kelembagaan madrasah ini
dapat digunakan untuk membaca kualitas madrasah secara keseluruhan, seperti
keadaan guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan sarana pendukung lainnya, karena
keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah di tanah air pada
umumnya sangat tergantung kepada pemerintah. Atas dasar itu, tidak terlalu
salah kalau dikatakan bahwa madrasah-madrasah swasta yang berjumlah 32.523 buah
mengalami masalah yang paling mendasar yaitu berjuang keras untuk
mempertahankan hidup, bahkan sering disebut lâ yamûtu walâ yahya (tidak hidup
dan perlu banyak biaya (agar tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi
masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya
peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %,
sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 diperkirakan jumlah
siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia
sekolah di Indonesia.[6]
4.
Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah
Pada
pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan
setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum. Paling tidak terdapat
1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di MI. Di tahun 1966, pemerintah
mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil,
ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensi,
manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke pemerintah.
Meskipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola masyarakat
setempat dengan bentuk yayasan.
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan
nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat.
Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di
tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh
pihak swasta. [7]
Di tahun
1972 terdapat sekitar 22.000 madrasah setingkat SD.[8]
Sementara itu, berdasarkan data yang dikeluarkan kemenag, jumlah keseluruhan
siswa MI hingga tahun 2007/2008 mencapai 2.870.830 anak.[9]
Dari
data-data ini dapat diketahui bahwa sebenarnya madrasah ibtidaiyah mengalami
peningkatan, terlihat dari jumlah pendaftar MI yang terus meningkat dari tahun
ke tahun. Hanya saja yang perlu untuk selalu dikembangkan ialah mutu dari
madrasah ibtidaiyah itu sendiri, seperti yang penulis ungkapkan pada bagian “Kedudukan
Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional” di atas.
[1] Moh. Padil dan
Angga Teguh Prasetyo, Strategi Pengelolaan SD/MI Visioner, (Malang: UIN
Maliki Press, 2011), h. 87-88.
[2] Moh. Padil dan
Angga Teguh Prasetyo, ibid., h. 88.
[3] Moh. Padil dan
Angga Teguh Prasetyo, ibid., h. 89-91.
[4] Dedi Supriadi,
Membangun Bangsa Melalui Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2004), h. 130.
[5] Dedi Supardi, ibid.,
h. 137.
[6] Tobroni, Percepatan
Peningkatan Mutu Madrasah, (Sebuah tulisan yang dibuat untuk menanggapi
kebijakan yang disampaikan oleh Prof. Dr. yahya Umar, Direktur Jenderal
Pendidikan Islam Departemen Agama), (situs: emiardiyanti.blogspot.com, 2009),
diakses: 19 Desember 2012, 01. 28.
[7] Potret
Madrasah Ibtidaiyah Di Indonesia: Menyoal Revitalisasi Madrasah Ibtidaiyah di
Era Otonomisasi Daerah, (situs: myownreport.wordpress.com, 25 Juni
2011), diakses: 19 Desember 2012, 02.00.
[8] C.E.Beeby, Pendidikan
di Indonesia (Penilaian dan Pedoman Perencanaan), (Jakarta: LP3ES,
1982), h. 37.
[9] Moh. Padil dan
Angga Teguh Prasetyo, op.cit., h. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar