PGMI

Sabtu, 05 Oktober 2013

Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam, Kedudukan dan Perkembangannya di Indonesia



1.      Awal Mula Munculnya Madrasah
Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan (Islam) diawali dengan hadirnya Nabi Muhammad Saw. menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di jazirah Arab. Ali sebagaimana dikutip oleh Suwito dan Fauzan, dikutip lagi oleh Padil dan Angga, mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam telah dikenal sejak detik-detik awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. Rumah al-Arqam ibn Abi al-Arqam merupakan lembaga pendidikan Islam pertama.
Kemudian masjid, oleh umat Islam dijadikan lembaga pendidikan Islam kedua pada zaman Nabi dan pada zaman Khulafa ar-Rasyidin. Kemudian lembaga tersebut terus berkembang. Penyebaran islam yang meluas hingga belahan dunia timur, mulai memunculkan istilah lembaga pendidikan Islam baru dengan sebutan madrasah.[1]
Sementara itu menurut Syalabi sebagaimana dikutip oleh Asrohah, kemudian dikutip lagi oleh Padil dan Angga, mengatakan bahwa madrasah adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam yang tidak sama dengan masjid atau lembaga pendidikan Islam lainnya. Madrasah merupakan perkembangan dari masjid. Akibat besarnya semangat belajar umat Islam di masjid, membuat kapasitas masjid menjadi penuh. Hal ini lah yang mendorong lahirnya madrasah.[2]
Dari kedua pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa pada intinya madrasah itu berasal atau asal mulanya adalah sebuah pembelajaran yang pada awalnya dilakukan di masjid. Kemudian seiring dengan perkembangnnya pembelajaran itu kemudian menjadi madrasah.
2.      Madrasah di Indonesia
Di Indonesia, pada awal berdirinya, sebagian besar madrasah masih lebih banyak memberikan ilmu-ilmu keagamaan daripada ilmu-ilmu umum, namun terjadi perubahan seteah keluarnya Surat Keputusan Tiga Menteri yaitu menteri agama, menteri pendidikan dan kebudayaan, daan menteri dalam negeri, yang berisi ketentuan agar semua madrasah mengubah kurikulumnya menjadi 70% bidang umum dan 30% bidang studi agama. Hal ini berlaku bagi madrasah negeri yang dikelola oleh Kementerian Agama Republic Indonesia, sedangkan madrasah yang dikelola oleh swasta, terdapat beberapa variasi yakni ada 60% bidang studi agama dan 40% bidang studi umum, dan ada pula yang tetap yakni 70% bidang studi agama dan 30% bidang studi umum.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, memiliki beberapa latar belakang, yaitu:
a.       Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan system pendidikan Islam.
b.      Usaha penyempurnaan terhadap system pesantren ke arah suatu system pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum.
c.       Adanya sikap pada sebagian kalangan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai system pendidikan mereka.
d.      Sebagai upaya untuk menjembatani antara system pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan system pendidikan modern.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bantuan dan bimbingan sejak pemerintah colonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapat perhatian dan pembinaan dari pemerintah.
Madrasah adalah tempat pendidikan dan memberikan pendidikan dan pengajaran yang berada di bawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Lembaga pendidikan Islam yang termasuk ke dalam kategori madrasah antara lain Madrasah Ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyyah, madrasah aliyah, madrasah mu’allimin, madrasah mu’allimat, serta madrasah diniyyah. Istilah madrasah di Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, namun di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah Islam yang mata pelajaran dasarnya adlah mata pelajaran agama Islam.[3]
Selain itu, menurut Dedi Supardi, madrasah seperti MI, MTs, dan MA adalah lembaga pendidikan umum yang mempunyai cirri khas agama, yaitu agama Islam. Akan tetapi lembaga pendidikan ini tetap memberikan porsi yang lebih banyak kepada materi pendidikan keagamaan dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum non-keagamaan. Pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan melalui pendidikan keagamaan berada di bawah koordinasi Departeman Agama (sekarang: Kementerian Agama). Dedi mengatakan bahwa lembaga pendidikan keagamaan ini juga adalah merupakan salah satu sarana pendidikan agama dan budi pekerti, karena pendidikannya berpusat pada agama.[4]
Pada madrasah, paling tidak ada dua kepentingan bertemu, yaitu hasrat kuat masyarakat Islam  untuk berperan serta dalam pendidikan dan motivasi keagamaan yang menyertainya. Indikasi ini dapat dilihat dari fakta bahwa banyak madrasah (pada awalnya) berafiliasi dengan pondok pesantren.[5]


3.      Kedudukan Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Namun demikian perhatian pemerintah terhadap keberadaan madrasah masih sangat kurang, bahkan menurut Yahya Umar menyebutnya sebagai “forgotten community”. Pernyataan Yahya Umar tersebut bagi banyak orang mungkin mengejutkan, namun realitas membenarkannya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management Syatem) Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah madrasah (Madrasah Ibtidaiyah/MI (SD), Madrasah Tsanawiyah/MTs (SMP) dan madrasah Aliyah/MA (SMA)) sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk madrasah diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Kondisi status kelembagaan madrasah ini dapat digunakan untuk membaca kualitas madrasah secara keseluruhan, seperti keadaan guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan sarana pendukung lainnya, karena keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah di tanah air pada umumnya sangat tergantung kepada pemerintah. Atas dasar itu, tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa madrasah-madrasah swasta yang berjumlah 32.523 buah mengalami masalah yang paling mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup, bahkan sering disebut lâ yamûtu walâ yahya (tidak hidup dan perlu banyak biaya (agar tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.[6]

4.     Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah
Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum. Paling tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di MI. Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta. [7]
Di tahun 1972 terdapat sekitar 22.000 madrasah setingkat SD.[8] Sementara itu, berdasarkan data yang dikeluarkan kemenag, jumlah keseluruhan siswa MI hingga tahun 2007/2008 mencapai 2.870.830 anak.[9]
Dari data-data ini dapat diketahui bahwa sebenarnya madrasah ibtidaiyah mengalami peningkatan, terlihat dari jumlah pendaftar MI yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hanya saja yang perlu untuk selalu dikembangkan ialah mutu dari madrasah ibtidaiyah itu sendiri, seperti yang penulis ungkapkan pada bagian “Kedudukan Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional” di atas.


[1] Moh. Padil dan Angga Teguh Prasetyo, Strategi Pengelolaan SD/MI Visioner, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), h. 87-88.
[2] Moh. Padil dan Angga Teguh Prasetyo, ibid., h. 88.
[3] Moh. Padil dan Angga Teguh Prasetyo, ibid., h. 89-91.
[4] Dedi Supriadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 130.
[5] Dedi Supardi, ibid., h. 137.
[6] Tobroni, Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah, (Sebuah tulisan yang dibuat untuk menanggapi kebijakan yang disampaikan oleh Prof. Dr. yahya Umar, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama), (situs: emiardiyanti.blogspot.com, 2009), diakses: 19 Desember 2012, 01. 28.
[7] Potret Madrasah Ibtidaiyah Di Indonesia: Menyoal Revitalisasi Madrasah Ibtidaiyah di Era Otonomisasi Daerah, (situs: myownreport.wordpress.com, 25 Juni 2011), diakses: 19 Desember 2012, 02.00.
[8] C.E.Beeby, Pendidikan di Indonesia (Penilaian dan Pedoman Perencanaan), (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 37.
[9] Moh. Padil dan Angga Teguh Prasetyo, op.cit., h. 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar