PGMI

Senin, 07 Oktober 2013

Pengertian Politik, Orientasi Dasar Politik, dan Sistem Politik


A.    Pengertian Politik
Kata “politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu Negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga Negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Politics dan policy memiliki hubungan yang erat dan timbal balik. Politics memberikan asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, arah, dan jalan tersebut sebaik-baiknya.
Dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Sedangkan policy, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kebijaksanaan, adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang dianggap dapat lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita atau tujuan yang dikehendaki. Pengambilan kebijaksanaan biasanya dilakukan oleh seorang pemimpin.[1]

B.     Orientasi Dasar Politik
Orientasi dasar politik (basic political orientation), menurut Easton (1957: 311-312), mencakup tiga elemen utama. Pertama, objek politik (political objects) atau kesan yang dipersepsikan  (perceived images). Karena kita tidak dapat bertindak dalam kevakuman, maka manakala kita melakukan tindakan politik kita harus mengarahkan diri kita pada objek politik tertentu. Kita menginginkan sesuatu dari pemerintah, kita mendukung suatu partai atau seseorang, dan sebagainya. Inilah orang-orang atau lembaga-lembaga yang menjadi objek tuntutan politik.
Kedua, nilai-nilai (values) atau kesan yang diinginkan (desired images). Mengetahui kesan yang diinginkan sama halnya dengan pencarian satu aspek sistem kepercayaan dalam sistem politik. Untuk tujuan ini kita perlu menemukan jawaban atas pertanyaan seperti berikut ini. Doktrin atau filosofi politik apakah yang diikuti oleh para anggota? Siapakah yang dikehendaki oleh para anggota untuk menjadi otoritas politik mereka? Dan sebagainya. Dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini kita dapat mengidentifikasi dan mengungkapkan norma-norma politik dasar yang diyakini oleh anggota dari sistem politik dan membandingkan mereka untuk membuat pengelompokkan dan pemisahan  dalam sejumlah variasi.
Ketiga, sikap politik (political attitude). Anggota-anggota dari suatu sistem memperlihatkan beragam sikap terhadap objek-objek politik, dan mereka mungkin saja berbeda.
Bagi Easton (1957: 312), tiga orientasi dasar politik di atas tidak diperoleh secara terpisah selama proses politisasi. Ketiganya satu sama lain saling terkait.[2]

C.     Sistem Politik
Konsep sistem politik dalam kaitannya dengan situasi yang nyata seperti negara, berusaha melihat dan mempelajari mengenai gejala-gejala atau kejadian-kejadian yang bersifat politik dalam konteks tingkah laku di dalam masyarakat. Tingkah laku politik dianggap merupakan salah satu bagian dari tingkah laku sosial secara keseluruhan. Dengan pemikiran ini dimaksudkan masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang pada hakikatnya terdiri dari bermacam-macam proses. Salah satu diantara bermacam-macam proses itu dapat dilihat gejala-gejala politik sebagai suatu kumpulan proses tersendiri yang menunjukkan adanya perbedaan dengan proses-proses lainnya. Inilah yang dimaksud dengan sistem politik. Singkatnya berkaitan dengan kehidupan negara, yang dimaksud sistem politik adalah suatu pola kehidupan yang menyangkut hal ikhwal kenegaraan dalam satu kebulatan utuh.
Dengan demikian sistem politik pada dasarnya mencakup:
·            Kehidupan lembaga-lembaga negara (Suprastruktur politik), baik kehidupan di masing-masing lembagamaupun hubungan antara lembaga negara yang ada.
·            Pola kehidupan dan tata hubungan antara lembaga sosio politik yang nyata dalam kehidupan pemerintahan negara (infrastruktur politik atau non legal bodies)[3]


[1] S. Sumarsono, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Gramedia, 2002), h.137
[2] M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 49-51.
[3] Hartomo dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 189-190.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar